Kamis, 12 Januari 2012

TEORI MIMPI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SUFI IBN ARABI DAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD


TEORI MIMPI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SUFI IBN ARABI DAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD

By Ghozali

Nama : Abu bakar Bin Ali Muhyiddin Alhatimi Attha`i (Ibn Arabi)
Lahir : 17 Agustus 1165 Murcia, Tenggara Spanyol
Wafat : Nopember 1240
L-B. Pendidikan : Filsafat dan Tasawuf
Ajaran : Tasawuf Falsafi
Metodologi : Ilham Intuitif
Karyanya : Futuhat al-Makkiyah, Fusus Al-hikam, Tarjuman al-aswaq, Rasa`il Ibn al-Arabi, dll.

Nama : Sigmund Freud
Lahir : 6 mei 1856, Moravia-Austria
Wafat : 23 September 1939 London
L.B. Pendidikan : Kedokteran (Neurolog)
Ajaran : Psikoanalisis
Metodologi : Subyektif Spekulatif
Karyanya : The Interpretation of dream, Studies in histeria, Civilazation and its contents, The future of an Illusion, General introduction to psikoanalisis, dll.

Pendahuluan
Hampir sepertiga bahkan lebih dari kehidupan manusia pada umumnya dihabiskan untuk tidur. Jika usia rata-rata manusia 60 tahun, maka selama 20 tahun diisi dengan tidur. Waktu yang tidak sedikit bukan? Namun dengan tidur, tidak berarti manusia melewati masa sia-sia karena tidur menjaga metabolisme tubuh agar tetap stabil. Menurut hasil penelitian, setelah 72 jam tidak tidur, akan menyebabkan gangguan psikotik.
Dengan tidur pula, kita dapat mengakses dunia yang memperantarai dua alam (fenomena dan abstrak) melalui mimpi. Mimpi juga memiliki manfaat, pertama; sebagai pemenuhan keinginan terlarang (Freud) misalnya: menonjok jidat pejabat negara yang kita benci tanpa dipidanakan, dan jika beruntung, kita dapat “berhubungan seksual” dengan artis idola dunia yang cantik atau ganteng. Kedua; sebagai sumber ilmu maupun risalah kenabian (Ibn Arabi).
Sadruddin Qunawi, murid Ibn Arabi mengatakan bahwa “Syeikh kita Ibn Arabi memiliki kemampuan bertemu dengan ruh nabi atau wali yang telah meninggal dunia, baik dengan cara membuatnya turun ke taraf dunia ini dan merenungkannya di dalam tubuh penampakan (surah mitsaliyah) yang serupa dengan bentuk indrawi orangnya atau dengan membuatnya muncul dalam mimpi, atau dengan melepaskan diri dari tubuh materiil supaya menemui sang ruh.2
Dalam karya pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, Freud menjadikan mimpi sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis pada pasiennya. Dengan karyanya ini, Freud mulai diperhitungkan perannya dalam dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, diantaranya C.G. Jung, Alfred Adler yang kemudian bergabung dibawah naungan psikoanalisis Freud, meski tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan pentingnya analisa mimpi.
Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Ibn Arabi (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan kelebihan satu tokoh diantarannya, namun lebih menekankan pada titik temu sekaligus perbedaannya untuk mencari sinergi bagi lahirnya sebuah teori tentang mimpi yang lebih utuh untuk pengembangan psikoterapi di masa mendatang.

Definisi Mimpi
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur.3 Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga.4 Jika Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon, maka Ibn Arabi mengidentifikasinya sebagai bagian dari imajinasi.
Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.5
Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.6

Hakikat Mimpi
Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk mrengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam keinginan itu dalam bentuk mimpi.7
Sementara dalam teori Ibn Arabi lebih bersifat komplementer, setidaknya dalam hal ini, disamping memiliki substansi sebagai pemenuhan keinginan, Ibn Arabi juga memandang situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos (semesta-pen) yang tercipta terlihat sebagai mimpi Ilahi. Pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam lamunan Ilahi, dimana ilusi sesuatu yang “bukan Aku” diperkenalkan pada kesadaran Ilahi sebagai refleksi posibilitasnya.8

Jenis dan Manfaat Mimpi
Freud mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Sedangkan Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga, Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.9
Jika kita cermati, melihat manfaat jenis mimpi Ibnu Arabi tersebut ada kemiripan dengan teori Freud, meski ia tidak mengkategorikannya sebagai bagian jenis mimpi. Freud menyebutnya sebagai pemenuhan atau refleksi keinginan seseorang, baik berupa kesenangan, maupun sesuatu yang mengerikan (mimpi buruk) sekalipun. Baginya, hal itu terjadi karena adanya mimpi yang terdistorsi yang tidak memperlihatkan adanya pemenuhan keinginan yang jelas sehingga harus dicari terlebih dahulu dan diinterpretasikan. Kita juga mengetahui bahwa keinginan yang mendasari mimpi yang terdistorsi adalah keinginan-keinginan yang dilarang dan ditolak oleh penyensoran, sehingga eksistensi mereka menjadi penyebab distorsi dan merupakan motif campur tangan penyensoran.10
Kedua: semacam arus yang mengalir namun tetap bersih, dimana dipancarkan obyek-obyek segala gambaran (mimpi simbolis-pen). Ibn Arabi menyatakan bahwa walaupun mimpi-mimpi semacam itu dapat dipercaya, namun itu harus ditafsirkan karena hanya berupa simbol-simbol saja. Imajinasilah yang mensuplai simbol-simbol itu. Dan kita tidak harus mengambil simbol-simbol itu secara realitas. Ketika Nabi melihat susu di dalam mimpinya, ia hanya melihat simbol saja, kualitas di balakang air susu itu adalah “pengetahuan”.11
Freud mengatakan bahwa simbolisme merupakan bagian paling mengagumkan dalam teorinya. Karena dalam beberapa kondisi, simbol memungkinkan kita menginterpretasikan mimpi tanpa harus mengajukan pertanyaan pada orang yang mengalami mimpi yang kadang-kadang malah tidak bisa memberitahukan apa-apa tentang simbol-simbol itu. Disini Freud juga mencoba menyimpulkan beberapa hal mengenai simbolisme dalam mimpi. Pertama; kita menentang pendapat bahwa orang yang bermimpi merasa tidak mengetahui bahwa simbol-simbol berhubungan dengan kehidupan dalam kondisi bangun. Kedua; hubungan simbolik bukan sesuatu yang khas bagi orang yang bermimpi, tapi ruang lingkup simbolisme sangat luas. Simbolisme mimpi hanya bagian kecil saja. Ini berbeda dengan simbolisme pada mitos, dongeng dan sebagainya. Ketiga; simbolisme yang muncul di bidang lain ternyata berhubungan dengan tema-tema seksual seperti dalam mimpi simbol-simbol yang sama juga melambangkan obyek dan hubungan seksual, misalnya: simbol phallic (alat kelamin) yang diinterpretasikan Jung sebagai unsur arketipe “mana” (spiritual).
Tapi bagi Freud dianggap sebagai alat kelamin yang sebenarnya. Intinya, Freud seringkali mengkait-kaitkan simbolisme dalam mimpi sebagai organ atau aktivitas seksual seperti; sepatu, sandal, dataran, kebun serta bunga sebagai perlambang vagina, sementara dasi diartikan sebagai penis, dan bahan dasi (linen) adalah lambang milik wanita. Sedangkan baju dan seragam melambangkan ketelanjangan. Keempat: simbolisme adalah faktor kedua dan faktor independen dalam distorsi mimpi yang hidup berdampingan dengan penyensoran.12
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari jenis mimpi ini adalah berupa; pengetahuan. Pemenang nobel, Loevi, memimpikan sebuah eksperimen selama 3 malam. Pada malam pertama, ia membuat catatan tapi tidak bisa menguraikannya kembali dan pada malam ketiga ia terbangun melakukan eksperimen dan memecahkan penemuannya.13
Ketiga: mimpi spiritual non simbolik, yaitu; mimpi-mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbolnya. Disini imajinasi tidak campur tangan. “Hati” langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma`ani ghaibiyah). Sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran, mereka adalah wahyu-wayu dari yang riil itu sendiri. Dan mimpi-mimpi berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu (revelation) dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.14 Karakteristik serta manfaat dari mimpi jenis ini hanya dapat diperoleh oleh jiwa-jiwa yang telah menjalani penyucian hati hingga mencapai tarafnya para wali atau para nabi.
Kategori mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.

Interpretasi Mimpi
Mengenai interpretasi tentang mimpi , Ibn Arabi mengatakan bahwa segala sesuatu datang dalam alam imajinasi karena mereka tafsirkan. Ini berarti bahwa sesuatu itu sendiri memiliki bentuk tertentu yang muncul dalam bentuk lain sehingga sang penafsir mendapatkan sesuatu dari bentuk yang dilihat oleh si pemimpi kepada sesuatu itu sendiri. Jika dia berasil, seperti munculnya pengetahuan dalam bentuk susu kepada bentuk pengetahuan, sehingga mengubah makna sesungguhnya dari keduanya- dari satu bidang ke bidang lainnya, yang merupakan perubahan yang tepat dari bentuk susu menjadi bentuk pengetahuan.
Ketika Yusuf as berkata “Aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, yang kulihat semuanya sujud padaku”. Yusuf melihat saudara-saudaranya dalam bentuk bintang-bintang dan melihat ayah dan bibinya sebagai matahari dan bulan, ini sudut pandang Yusuf. Tetapi, dilihat dari sudut pandang siapapun juga, perwujudan saudara-saudara sebagai bintang, dan ayah serta bibinya sebagai matahari dan bulan dikaitkan dengan harapan dan doa mereka. Jadi, selama mereka tidak ada pengetahuan atas apa yang dilihat Yusuf mengenai apa yang ia lihat, berperan melalui kemampuan imajinatifnya sendiri. Ketika Yusuf memberitahu Ya`qub tentang pandangannya ini, Ya`qub memahami situasi ini dan bersabda, “ Anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada sudara-saudaramu, kalau tidak, mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu)”. Kemudian Ya`qub mulai membebaskan putranya dari makar dan menempatkan itu di pintu syetan yang sangat mahir dalam soal makar, sambil mengatakan, “sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”, yang secara lahiriah memang begitu.
Lebih jauh lagi, Yusuf berkata, “inilah arti mimpiku yang dahulu itu, sesungguhya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan”, yaitu Tuhan menjadikannya terwujud pada pikiran sehat, yang sebelumnya terbentuk dari imajinasi. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad bersabda, “manusia tidur”, sedangkan Yusuf berkata, Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”. Karena berkenaan dengan apa yang dikatakan sang Nabi, ia berada dalam posisi seseorang yang bermimpi sehingga beliau telah terbangun dari sebuah mimpi dan kemudian menafsirkannya. Orang seperti ini tidak mengetahui bahwa dia masih tertidur dan bermimpi, tetapi saat terbangun, dia berkata,”Aku telah melihat begini dan begitu, yang, dengan bermimpi bahwa aku telah bangun, aku tafsirkan.” Sama seperti inilah situasi Yusuf. 15
Ungkapan Ibn Arabi mengenai pengetahuan pemimpi atas makna mimpinya, hampir senada dengan apa yang dikemukakan oleh Freud, bahwa “dalam kasus mimpi, orang yang bermimpi selalu mengatakan tidak tahu apa makna mimpinya. Sedangkan kita juga tidak mempunyai apapun untuk memberi penjelasan kepadanya. Tapi saya akan meyakinkan anda bahwa masih ada kemungkinan, bahkan cukup besar, karena orang yang bermimpi itu sebenarnya mengetahui apa makna mimpinya, Hanya saja dia tidak tahu bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa.16
Seperti pembahasan mengenai simbolisme, dalam interpretasinya, Freud lebih mengaitkan dengan tema-tema seksual dengan melambangkan simbol-simbol tersebut dengan obyek maupun aktivitas seksual. Demikian pula halnya dengan Ibn Arabi, Ia hanya memberikan ruang untuk penafsiran pada jenis mimpi simbolis. Tentu interpretasinya tidak hanya sebatas penekanan pada obyek-obyek seksual. Perbedaan definisi, hakikat, jenis mimpi, manfaat serta interpretasi mimpi antara teori Ibn Arabi dengan Freud yang telah kami jelaskan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Mungkin pandangan Freud lebih lengkap dari Ibnu Arabi mengenai cara kerja, sensor mimpi serta teknik-teknik interpretasi secara detail. Hal ini bisa jadi karena masih terbatasnya karya-karya Ibn Arabi yang dapat diakses atau memang rumitnya pemahaman atas konsepnya, sebagaimana yang diilustrasikan oleh A.J. Arberry bahwa “Ibn Arabi bisa dibandingkan dengan sebuah puncak gunung yang belum dieksplor, banyak wilayah pada sisi yang sudah dikenal, tetapi masih harus ditentukan dengan tepat bagaimana arah menuju puncaknya, atau dengan ketinggian apa air mancur itu meluapi dengan baik pada sungai yang kuat dari semua pemikiran mistik selanjutnya, baik muslim maupun Kristen17 < http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif

1 komentar: