TEORI
KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU
Oleh
: Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
Teori-teori
yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan
dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang
akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari
komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi
pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.
Teori
Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori
pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang
kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada
teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu
dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media,
karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini,
jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda
seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian
pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi
populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal.
Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi
banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana
baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media
massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up
secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar
mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh
media dianggap terbatas (limited-effects model).
Sekarang
setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah
kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh
yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung
keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa
adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.
Uses,
Gratifications and Depedency
Salah
satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai
kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and
gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi
massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan
mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications
mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa
yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya
diringkas sebagai berikut :
Studi
pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media,
bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam
kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya
dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai
bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya
secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di
sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota
khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan
terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan
bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah
satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan
mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan
dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul
Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera
sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002
: 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan
bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu
rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka
merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca
surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat
informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai
informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset
yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka
menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media –
persons interactions sebagai berikut :
Diversion,
yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal
relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal
identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance
(bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti
yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan
menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap
berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan
beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and
gratifications.
Teori
Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip
Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori
uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai
expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam
kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan
oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium
dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai
contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri
menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan
terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi
lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak
realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk
melihatnya.
Teori
Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori
ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan
Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga
menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan
ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam
model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara
pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini
memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari
media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta
mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu
digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap
semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak
terhadap media massa ?
Ada
dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung
terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan
dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika
misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United,
Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada
tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih
tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak
mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak
melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber
ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem
media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi
khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang
menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk
mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa
metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset
etnografi.
Riset
Eksperimen
Riset
eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media
dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang
menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan,
namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke
dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
Riset
eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan
rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek
kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak.
Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka
Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok
pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok
kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata
setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan
tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok
kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran
membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan
metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena
sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai
tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability).
Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan
kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang
biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).
Survey
Metode
survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan
sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih
memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset
eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih
besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada
manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan
seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh
berikut.
Seorang
peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual
terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian
membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali
Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”).
Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti
kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran
yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus
statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).
Riset
Ethnografi
Riset
etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih
alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi
yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga
tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam
penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik
observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara
mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden,
tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey
(Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan
sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika
mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan
sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
Misalnya,
peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi
terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan
ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati
secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama
mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan
komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka
secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya
dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat
kaya informasi yang mendalam.
izin ngopy bang... silahkan mampit http://www.makalahkuliah.com/
BalasHapus